Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga sebagai aliran kiri, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif. Dalam konteks akademik, mazhab ini disebut dengan the new sociological of education atau critical theory of education. Henry Giroux (1993) menyebut mazhab ini dengan pendidikan radikal (radical education), sedangkan Paula Allman (1998) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner (revolutionary pedagogy). Mazhab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogeny. Namun, para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakkan kaum tertindas dan mentrasformasi ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Peter McLaren, 1998). Pernyataan-pernyataan pokok yang diajukan mazhab ini adalah:
Apakah pendidikan mengandung muatan language of critique?
Apakah pendidikan mengandung muatan language of possibility?
Apakah pendidikan telah memberi ruang bagi perkembangan agensi sebagai proses pembentukan critical subjectivity?
Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari pelbagai kepentingan, tapi justru menjadi bagian bari institusi social lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan. Pendidikan harus dipahami dalam kerangka relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan edeologi. Pelbagai kepentingan inilah yang akan membentuk wajah institusi pendidikan dan mempengaruhi subyektifitas peserta didik. Harus disadari, subyektifitas manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Subyektifitas manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah tempat manusia belajar, lingkungan sosial tempatnya berinteraksi, lingkungan keluarga tempat dia tinggal, system politik yang mengatur kehidupan public, dan entitas-entitas lain yang turut membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu.
Dalam konteks di atas, perlu membangun kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas. Kesadaran kritis merupakan kata kunci yang sangat penting, sebab penindasan, dominasi, eksploitasi itu berlangsung karena terdegradasinya fakultas kritis manusia. Apa yang dimaksud dengan critical thinking/consciousness di sini adalah mode of thought yang mampu menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan, meminjam istilah Antonio Gramsci (1971), “common sense”. Akan tetapi harus diingat bahwa mengembangkan critical consciousness tidak bisa dengan cara didepositokan atau diimpose dari luar, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam peserta didik sendiri. Kesadaran kritis tidak dapat dicangkokkan, tapi dibangun lewat kesadaran diri peserta didik.
Mazhab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan social dan kesetaraan (Joe Kincheole, 2005). Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata, tapi juga termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normative dengan praktek di lapangan. Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradox. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun anti demokrasi, dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan capital. Sekolah punya visi menjujung tinggi persamaan derajat anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, utamanya kaum difabel. Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusikan mereka yang punya keterbatasa itelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindrian-sindiran tajam di public seperti “sekolah itu candu” (Roem Topatimasang, 2004), “orang miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo, 2005), atau “orang bodoh dilarang sekolah”.
“Kritik” menjadi bahasa yang melekat dalam mazhab pendidikan kritis, dan bahkan mazhab ini menjadikan “language of critique” sebagai landasan berpijak untuk mengkonstruksi bangunan epistemology dan praksisnya. Bahasa kritik ini bisa ditemukan dalam karya-karya mazhab Frankfurt, Paulo Freire dan Antonio Gramsci. Oleh karena itu, ketiganya menjadi rujukan utama mazhab pendidikan kritis. Seiring dengan perkembangan waktu modernisme dan feminism karena pengaruhnya yang luar biasa dalam ilmu social. Namun untuk keperluan buku ini hanya tiga pertama yang menjadi acuan utama.
Memasukkan mazhab Frankfurt dan posmodernisme dalam satu paying rujukan bukannya tanpa masalah. Sebab keduanya berangkat dari titik tolak yang berbeda. Mazhab Frankfurt, yang masih meyakini proyek modernism bertitik tolak pada asumsi perlunya meletakkan fondasi dasar bagi kehidupan masyarakat modern dengan bertumpu pada universlisme akal, hak dan otonomi individu. Sedangkan, posmodernisme, kebalikannya, tidak meyakini apa yang disebut dengan universalisme, yang ada adalah partikularitas, pluralitas dan keragaman. Mazhab Frankfurt Enlightenment, sedangkan posmodernisme menolak Enlightenment sebagai grand-narrative karena ia menolak peletakan fondasi permanen apapun atas realitas dan kebenaran. Dalam pandangan posmodernisme tidak ada kebenaran sejati karena yang disebut dengan kebenaran itu sebenarnya hanyalah interpretasi manusia atas realitas itu sendiri yang dihasilkan, tapi cuma konstruksi bahasa manusia. Dengan demikian, posmodernisme menganut paham relativisme.
Mazhab pendidikan kritis mengambil unsure-unsur konstruktif dari mazhab Frankfurt dan posmodernisme yang bisa dicangkokkan dalam upaya mengontruksi satu bentuk pendidikan yang membebaskan dan mampu melahirkan language of critique dan language of possibility. Artunya, pendidikan harus bisa menjadi medium bagi kritik sosiial dan sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya democratic public spheres. Dua hal yang ditekankan dalam mazhab ini adalah self-empowerment dan self-reflection sebagai titik tolak untuk melakukan transformasi social dengan berpihak kepada yang lemah (powerless) (McLaren, 1998). Salah satu tema pokok mazhab pendidikan kritis adalah tentang kapitalisme karena pengaruhnya yang besar dalam kehidupan masyarakat modern. Apa yang dilahirkan dari rahim kapitalisme adalah culture of positivism dan rasionalitas teknokratik/instrumental, satu bentuk budaya dan model berpikir yang berpengaruh atas laju arah pendidikan. Karena ilmu yang sampaikan kepada peserta didik dalam budaya ini adalah ilmu yang mengorientasikan mereka untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat industri. Proses pembelajaran pun ditekankan pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk mengejar profit. Jadilah pembelajaran sebagai arena imposisi pengetahuan dari mereka yang menganggap tahu segalanya kepada mereka yang tidak mengetahui apa-apa.
Lebih dari itu, dalam budaya positivisme, pengetahuan cenderung dipisahkan dari dari proses pembentukannya. Seolah-olah keduanya bisa dipisahkan. Pengetahuan dianggap seperti “barang jadi” yang siap ditelan peserta didik tanpa melalui proses seleksi dan refleksi bersama. Padahal kalau kita memakai perspektif Paulo Freire (1973) lewat the gnosiological cycle of knowledge, proses pembentukan pengetahuan itu secara dialektis berkaitan erat dengan proses penerimaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika dipisahkan, maka pembelajaran sama saja mengabaikan unsure-unsur penting yang perlu dikembangkan di dalam diri peserta didik, seperti refleksi kritis, keingintahuan (curiosity), dan dialog.
Dalam pendidikan kritis, yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya (Allman, 1998). Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian memasalahkannya (problematizing). Sedangkan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-fakta tersebut melalui da metode: deskriptif dan analitis. Tahap deskriptif digunakan untuk memahami, meminjam istilah Chomsky (1978), surface structure, sedangkan tahap analitis digunakan untuk memahami, deep structure. Dua metode itulah yang dijadikan sebagai alat analisis untuk memahami relasi-relasi antar kategori (ideology, ras, gender, kelas) dalam memahami realitas termasuk di dalamnya dunia pendidikan.
Dari perspektif pendidikan kritis, sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan cultural. Sekolah adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan social. Sementara itu, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. Dia bukan pemilik tunggal kelas. Hubungan guru-murid bukanlah bersifat vertical seperti yang terjadi di pabrik yang mengidentifikasikan atasn-bawahan atau manajer-buruh, tapi bersifat horizontal dan egalitarian. Isi dan materi pembelajaran dalam pendidikan kritis tidaklah semata-mata hak prerogative guru, kepala sekolah atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi ini pembelajaran atau kurikulum dengan menjadikan kehidupan peserta didik sebagi titik pijak (entry point).
Proses pembelajaran dalam pendidikan kritis lebih menekankan pada aspek how to think daripada what to think. Penekanan pada aspek what to think atau materi pembelajaran itu penting, tapi proses atau metodologi untuk mendekati materi itu lebih penting. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat orang lain, selama masa pembelajaran jauh lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Karena dalam proses itulah akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assessment terhadap pengetahuan. Penekanan aspek how to think akan bisa terlaksana jika metode yang dipakai dalam proses pembelajaran adalah metode dialogis, bukan metode cerita. Dialog merupakan sarana humanis, sarana untuk menemukan jatidiri sebagai manusia, sarana untuk memanusiakan manusia. Namun, tetap saja harus diingat, dialog apapun tentang suatu pengetahuan atau nilai di kelas harus steril dari upaya untuk mencapai consensus. Hal ini dimaksudkan agar ada kesempatan bagi peserta didik untuk berpikir lewat persepektif mereka sendiri.
Proses dialog akan menghasilkan apa yang disebut Freire dengan conscientization, yaitu proses berkembangnya kesadaran. Konsientasi adalah proses dimana mansia mempunyai critical awareness sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi-kontradiksi social yang ada disekelilingnya dan mampu mengubahnya. Pendidikan kritis menganggap bahwa tujuan pendidikan itu sebenarnya adalah untuk meningkatkan kesadaran peserta didik, dari kesadaran magis dan naïf, menuju kesadaran kritis. Untuk mendukung peningkatan kesadaran di atas, ada tiga tahapan dasar dalam pendidikan (Taylor, 1983). Tiga tahapan itu merupakan derivasi dari filsafat praksis. Tahap pertama, adalah naming, yaitu tahap menanyakan sesuatu: what is the problem? Tahap ini merupakan latihan untuk mempertanyakan sesuatu, baik itu berkaitan dengan teks, realitas social ataupun struktur ekonomi-politik. Tahap kedua, adalah reflecting, yaitu dengan mengajukan pertanyaan mendasar untuk mencari akan persoalan: why is it happening? Tahap ini dimaksudkan agar murid dibiasakan untuk tidak berpikir simplistik, tapi berpikir kritis dan reflektif. Tahap ketiga, adalah acting, yaitu proses pencarian alternative untuk memecahkan persoalan: what can be done to change the situation? Ini merupakan tahapan praksis. Memang, refleksi dan aksi merupakan dua sisi dari satu koin yang sama dalam critical pedagogy. Tiga tahap merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pendidikan.
Tanggapan
Mazhab pendidikan kritis sejatinya menjadi alat untuk membedah realitas sosial yang bisa diintrodusir dalam ranah lembaga pendidikan. Ide-ide teknis dalam mazhab ini sangat baik dalam melahirkan nalar kritik sehingga pada gilirannya ada harapan bahwa peserta didik akan memiliki kepekaan zaman. Namun demikian, sebagai sebuah ide yang debatable, konsep-konsep mazhab pendidikan kritis belum mampu menampakkan pijakan ideologis/mabda’i yang mapan sebagai pondasi dalam mengekseskusi fenomena-fenomena kehidupan manusia. Di titik inilah kami menilai bahwa mazhab ini telah mengagungkan falsafah “asal kritik” dengan hanya menjadikan realitas empiris sebagai hakim. Sebagai contoh, penilaian penulis buku ini terhadap pendidikan Islam, “…konsep pendidikan Islam tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan empiris-sosiologis dan hanya bergulat pada persoalan normatif … “, juga penilaian penulis terhadap konsep manusia dalam pendidikan Islam, “…konsep manusia dalam pendidikan Islam cenderung dominan nuansa normatifnya dan kurang memberikan perhatian terhadap dimensi kesadaran historisitas dan critical consciousness…”.
Semestinya, menurut kami, sebuah konsep kritik harus berpedoman pada pondasi falsafah hidup yang kuat dan yang tidak mati ditimbun oleh kerusakan realitas sosial, yang sejatinya hanya disebabkan tangan-tangan manusia yang –bisa jadi—tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, mazhab pendidikan kritis ini tidak akan menjadi sosok, a child with hammer, yakni seperti anak kecil yang menggenggam palu, dia akan memukul apa saja, mulai tiang rumah dari besi, sampai seekor lalat di atas meja. Semoga…
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Terkait