Pemimpin Amarah

M_Id_48798_Angry_bossKaryawan yang bisa bekerja nyaman niscaya akan menghasilkan kinerja terbaik. Begitulah kira-kira kesimpulan saya selama hampir 14 tahun berkecimpung sebagai kuli di sebuah perusahaan swasta. Maka tatkala saya kebagian peran menjadi atasan, saya berusaha sungguh-sungguh untuk menghadirkan rasa nyaman itu di tengah-tengah para karyawan pejuang saya. Saya gunakan istilah pejuang karena memang seorang karyawan tak mungkin sukses kecuali kerjanya dihiasi dengan semangat perjuangan.

Rasa nyaman saya kondisikan mulai dari cara saya berinteraksi dengan mereka. Saya gunakan gaya tak berjarak. Saya bisa dihubungi kapan saja, bahkan di tengah malam pun mereka tidak saya batasi untuk berkomunikasi dengan saya. Cara menanggapi keluhan pun saya sesuaikan dengan “selera” mereka, walaupun sungguh saya menjadi banyak belajar dalam urusan berbahasa ini. Terkadang saya merasa tersinggung dengan bahasa mereka yang kasar dan sarkastis, tapi segera saya sadar bahwa bisa jadi karena mereka terbatas dalam kosa kata yang menurut saya masih bisa diganti dengan kata yang lebih santun dan enak di telinga. Sekedar contoh, mereka, para karyawan ini terlalu sering mengungkapkan kalimat “pokoknya kami menolak, Pak”, padahal masih ada kalimat lain yang lebih akomodatif semisal, “sebaiknya kita pikirkan lebih jernih lagi agar bisa win-win solution, Pak”. Tapi, saya juga jadi nyadar, ketika saya ingat bagaimana gaya bahasa sebagian anggota dewan yang katanya terhormat itu, ketika mereka berbeda pendapat, bahkan sampe adu jotos dan memaksa banyak orang untuk melerai. Saya inget juga bagaimana kegagalan komunikasi antara dua orang intelektual dan tokoh ruang publik sekelas Munarman dan Amrin Tamagola bisa mengakhiri komunikasi mereka dengan siraman teh manis di wajah lawan bicara, miris.

Dalam gaya berkomunikasi ini, saya juga kerap berkaca pada beberapa direktur atau owner atasan saya, yang sebagian mereka sangat jaim untuk didekati oleh karyawan jelata tapi begitu santun tatkala berkomunikasi dengan customer besar beromset jumbo. Saya memang sering sampaikan bahwa saya tak mungkin menerima jabatan direktur di perusahaan konvensional, seperti di perusahaan tempat saya berkarya dan berjuang sekarang. Apa alasannya? karena saya menginginkan masuk Surga kelak di Akhirat. Saya tak mungkin bisa mengikuti irama dan permainan marketing konvensional saat ini, yang hampir-hampir menggelincirkan kita pada praktek riswah, padahal saya menginginkan praktek yang bersih. Pada kesempatan lain, insyaAllah akan saya jelaskan lebih rinci tentang keputusan saya ini. Terkait dengan atasan jaim (jaga imej), saya tegaskan, saya tak akan menjadi pribadi seperti ini. Saya ingin dikenang oleh seluruh rekan kerja saya sebagai manajer pejuang yang santun, merakyat dan didukung hidup-hidupan oleh seluruh bawahan saya. Ternyata untuk mendapat dukungan tanpa syarat dari para karyawan itu sangat mudah. Saya teringat cerita salah satu bos perusahaan swasta nasional yang terkenal dengan panggilan Om Liem. Ada salah satu pejabat di perusahaan beliau menyatakan bahwa dia akan selalu mendukung bahkan siap berkorban apapun demi Om Liem. Lho, kok bisa? Pasalnya sederhana, suatu ketika Om Liem sedang jalan di sebuah pusat perbelanjaan dan bertemu dengan anak buahnya ini yang sedang bersama keluarganya. Setelah menyapa si karyawan, Om Liem kemudian menggendong anak si karyawan sambil berbicara ringan. Efek dari perhatian Om Liem__yang menggendong putra si karyawan__ yang menurut kebanyakan kita biasa saja ternyata justru luar biasa bagi si karyawan. Itulah contoh fragmen bagaimana perhatian seorang atasan begitu berharga dan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi setiap bawahannya. Apalagi kalau setiap tahun kenaikan upahnya juga diperhatikan bisa mensejahterakan, lho kok…

Saya ingin menjadi atasan yang panggilan saya dirindukan oleh setiap bawahan. Setiap mereka ingin berlama-lama ngobrol dengan saya, karena mereka merasa tak ada jarak dengan saya dalam menyampaikan pendapat. Saya tak ingin panggilan saya kepada bawahan menimbulkan goncangan psikis pada mereka karena saya tak menghendaki panggilan saya hanya untuk memberikan punishment dan sumpah serapah. Ingin rasanya saya bisa senantiasa menerapkan nasehat spiritual Nabi SAW untuk jangan marah. Ternyata memang nasehat untuk jangan marah ini menjadi kunci pembuka komunikasi positif dalam kehidupan. Dalam istilah saya, tatkala seseorang mengumbar amarah, maka sejatinya dia sudah tidak bisa mengontrol dirinya dan sudah tidak mempunyai solusi lagi atas permasalahan yang dihadapi. So, amarah yang dilontarkan, apalagi di depan forum umum menandakan derajat kedewasaan seseorang dalam menangani masalah. Untuk urusan marah-marah ini, terakhir saya kok malah makin sering melihat dan mendengar dari acara televisi bagaimana seorang pejabat daerah marah besar kepada bawahannya, dan disorot banyak media serta disaksikan jutaan pasang mata rakyat, sambil diiringi pujian bahwa pejabat ini “bekerja”. Menilai makin banyaknya gaya pejabat seperti ini kok saya jadi khawatir kalau-kalau amarah menjadi ukuran kepedulian seorang pejabat publik terhadap urusan rakyatnya. Saya khawatir laku pejabat kayak gini kemudian mejadi trend. Lebih celaka lagi kalau ditiru plek oleh rakyatnya. Jika demikian halnya, jadilah negeri ini, negeri amarah dan dipimpin oleh pemimpin amarah. Setiap masalah dihadapi dengan amarah. Di jembatan timbang amarah diseburkan, di taman kota amarah diluapkan, di ruang sekolah amarah ditumpahkan, dan seterusnya. Sungguh telah ada nasehat para guru, sebaik-baik orang adalah yang paling mampu menahan amarahnya tatkala dia bisa dan berhak menumpahkan amarah.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s