Karyawan yang bisa bekerja nyaman niscaya akan menghasilkan kinerja terbaik. Begitulah kira-kira kesimpulan saya selama hampir 14 tahun berkecimpung sebagai kuli di sebuah perusahaan swasta. Maka tatkala saya kebagian peran menjadi atasan, saya berusaha sungguh-sungguh untuk menghadirkan rasa nyaman itu di tengah-tengah para karyawan pejuang saya. Saya gunakan istilah pejuang karena memang seorang karyawan tak mungkin sukses kecuali kerjanya dihiasi dengan semangat perjuangan.
Rasa nyaman saya kondisikan mulai dari cara saya berinteraksi dengan mereka. Saya gunakan gaya tak berjarak. Saya bisa dihubungi kapan saja, bahkan di tengah malam pun mereka tidak saya batasi untuk berkomunikasi dengan saya. Cara menanggapi keluhan pun saya sesuaikan dengan “selera” mereka, walaupun sungguh saya menjadi banyak belajar dalam urusan berbahasa ini. Terkadang saya merasa tersinggung dengan bahasa mereka yang kasar dan sarkastis, tapi segera saya sadar bahwa bisa jadi karena mereka terbatas dalam kosa kata yang menurut saya masih bisa diganti dengan kata yang lebih santun dan enak di telinga. Sekedar contoh, mereka, para karyawan ini terlalu sering mengungkapkan kalimat “pokoknya kami menolak, Pak”, padahal masih ada kalimat lain yang lebih akomodatif semisal, “sebaiknya kita pikirkan lebih jernih lagi agar bisa win-win solution, Pak”. Tapi, saya juga jadi nyadar, ketika saya ingat bagaimana gaya bahasa sebagian anggota dewan yang katanya terhormat itu, ketika mereka berbeda pendapat, bahkan sampe adu jotos dan memaksa banyak orang untuk melerai. Saya inget juga bagaimana kegagalan komunikasi antara dua orang intelektual dan tokoh ruang publik sekelas Munarman dan Amrin Tamagola bisa mengakhiri komunikasi mereka dengan siraman teh manis di wajah lawan bicara, miris. Baca lebih lanjut